Muqaddimah
Bismillah...Memasuki bulan Rabi’ul Awal yang mulia ini, kami akan memposting beberapa persoalan terkait perayaan Maulid Rasul dari berbagai sudut pandang. Semoga bermanfaat. Di dalam muqaddimah ini pertama-tama akan kami sampaikan devinisi Perayaan Maulid Nabi itu sendiri.
1. Devinisi perayaan maulid, atau dalam bahasa arabnya disebut dengan istilah “ al-ihtifal bi al-Maulid”.
Ada banyak kerancauan dalam memahami apa yang dimaksud dengan ihtifal bi al-Maulid itu. Sehingga diskusi atau perbincangan di dalamnya tidak sinkron antara satu pihak dengan yang lain.
Al-Sayyid Muhammad bin al-Alawi al-Maliki mendevinisikan al-ihtifal bi al-Maulid dengan ta’rif sebagai berikut :
إِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيْفِ تَعْبِيْرٌ عَنِ الْفَرَحِ وَالسُّرُوْرِ بِالْمُصْطَفَى صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“ Sesungguhnya peryaan maulid Nabi yang Mulia adalah sebuah ungkapan dari suka cita dan gembira atas (wujudnya) Rasulullah SAW (di muka bumi)”.
( Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawa Ulama’ al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal. 14, Dar al-Rasyad al-Haditsah).
Dari devinisi tersebut dapat dipahami bahwa sebuah puji-pujian, seremonial, makan-makan, perkumpulan, dliba’an, barzanjian, ibadah, puasa, shalat dan lain sebagainya yang ditujukan untuk mengekspresikan rasa syukur atas kehadiran Sang Rahmatan lil ‘Alamin Rasulullah SAW. di muka bumi disebut dengan perayaan maulid. Sederhananya al-ihtifal bi al-Maulid tidak selalu identik dengan mengadakan seremonial acara lengkap dengan MC hingga muballighnya atau selalu talazum dengan pembacaan sirah-sirah nabawiyyah, manaqib, syamail Rasul dan yang sejenis. Rajin bersedekah, berpuasa, shalat, mengaji atau kegiatan positif lainnya karena untuk mensyukuri diutusnya Rasulullah untuk seluruh umat manusia dan bahkan untuk seluruh alam semesta, layak disebut dengan perayaan maulid.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perayaan maulid sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Bahkan orang pertama yang melakukannya adalah Shahibu al-Maulid sendiri, Rasulullah SAW. Di mana ketika Rasulullah ditanya tentang anjuran puasa pada hari Senin beliau menjawab “ Itu adalah hari di mana aku dilahirkan”. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengatakan :
إِنَّ أَوَّلَ الْمُحْتَفِلِيْنَ بِالْمَوْلِدِ هُوَ صَاحِبُ الْمَوْلِدِ وَهُوَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ الَّذِيْ رَوَاهُ مُسْلِمٌ لَمَّا سُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ قَالَ صلى الله عليه وسلم ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ فَهَذَا أَصَحُّ وَأَصْرَحُ نَصًّ فِي مَشْرُوْعِيَّةِ الْإِحْتِفَالِ بِالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيْفِ وَلَا يُلْتَفَتُ اِلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَنِ احْتَفَلَ بِهِ الْفَاطِمِيُّوْنَ لِأَنَّ هَذَا إِمَّا جَهْلٌ أَوْ تَعَامٍ عَنِ الْحَقِّ
“ Sesungguhnya pertama kali yang merayakan maulid adalah Sang empunya maulid itu sendiri, yaitu Rasulullah SAW. Sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih riwayat imam Muslim ketika Rasul ditanya tentang anjuran puasa di hari Senin, beliau menjawab; “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan”. Ini adalah sekuat dan sejelas-jelasnya nash dalil yang menjelaskan anjuran maulid Nabi yang mulia. Tidak dapat dijadikan pijakan pendapat yang mengatakan bahwa pertama kali yang merayakan maulid adalah dari dinasti Fathimiyyah. Sebab pendapat tersebut tidak lepas dari ketidak tahuan atau berpura-pura tidak tahu akan fakta yang sebenarnya”.
(Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawa Ulama’ al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal. 11, Dar al-Rasyad al-Haditsah).
Jadi Rasulullah rutin berpuasa hari Senin pada dasarnya merupakan wujud dari rasa syukur dan kegembiraan beliau atas karunia Allah menjadikannya Sebagai Nabiyyu al-Rahmah, Nabi pembawa Rahmat. Begitu juga para Sahabat, Tabi’in, Tabi’i al-Tabi’in hingga generasi setelahnya, semuanya merayakan maulid. Sangat tidak logis jika beliau-beliau yang disebut Rasulullah sebagai Khairul Qurun (Sebaik-baiknya generasi) tidak bersyukur atas karunia Allah yang maha besar ini, Rasulullah SAW.
Hanya saja, dalam mengekspresikan al-farah wa al-Surur (rasa gembira) tersebut masing-masing memiliki cara sendiri-sendiri. Ini merupakan persoalan ijtihadi yang teknisnya diserahkan kepada umat sesuai kultur, budaya dan adat istiadat yang berlaku di daerah masing-masing. Rasulullah tidak menjelaskan detail teknis perayaan maulid, agar Umat muslim sendiri yang mengkreasikannya.
Rasulullah sebagai sang maha guru pendidik manusia dalam beberapa hal tentunya tidak bermaksud mematikan kreativitas umatnya untuk meluapkan suka cita dan rasa mahabbahnya kepada beliau, Junjungan Nabi Agung Sang Pemberi Syafaat kelak di hari kiamat, Rasulullah SAW. Bukankah para sahabat dulu pernah mengkreasi sebuah do’a hasil karya sendiri dan mendapat apresiasi bagus dari Rasulullah SAW?. Nah, kalau urusan do’a saja bebas, apalagi hanya sekedar luapan kegembiraan ?.
Referensi pendukung :
الموسوعة اليوسفية ص 136 - 137وإنه صلى الله عليه وسلم كان يعظم يوم مولده ويشكر الله تعالى فيه على نعمته الكبرى عليه اذ سعد به كل موجود وكان يعبر عن ذلك التعظيم بالصيام كما جاء في الحديث عن قتادة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم يوم الاثنين فقال فيه ولدت وفيه انزل علي وهذا في معنى الاحتفال به الا ان الصورة مختلفة ولكن المعنى موجود سواء گان ذلك بصيام او اطعام طعام او اجتماع على ذكر او صلاة على النبي صلى الله عليه وسلم او سماع شمائله الشريفة
Referensi pendukung :
الموسوعة اليوسفية ص 136 - 137وإنه صلى الله عليه وسلم كان يعظم يوم مولده ويشكر الله تعالى فيه على نعمته الكبرى عليه اذ سعد به كل موجود وكان يعبر عن ذلك التعظيم بالصيام كما جاء في الحديث عن قتادة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم يوم الاثنين فقال فيه ولدت وفيه انزل علي وهذا في معنى الاحتفال به الا ان الصورة مختلفة ولكن المعنى موجود سواء گان ذلك بصيام او اطعام طعام او اجتماع على ذكر او صلاة على النبي صلى الله عليه وسلم او سماع شمائله الشريفة
0 Response to "MAULID NABI, part 1, RASULULLAH TIDAK BERMAKSUD MEMATIKAN KREATIVITAS UMATNYA"
Post a Comment